MBS

19/10/2010 22:48

 IMPLIKASI PENERAPAN MBS DI INDONESIA 

Oleh : Achmad Nurul Mubin

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A. Latar Belakang

 

Mutu pendidikan adalah karakteristik menyeluruh dari setiap komponen pendidikan yang menunjukkan kemampuan memuaskan kepada warga sekolah, masyarakat, dinas pendidikan, pemerintah, dan pihak lain yang terkait dengan pendidikan di daerah tersebut. Mutu pendidikan di Indonesia pada setiap jenjang dan satuan pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah merupakan salah satu komponen utama dalam bidang pendidikan yang dialami oleh bangsa. Banyak penelitian yang menunjukan belum adanya mutu yang signifikan di sekolah. Sebagian sekolah di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang memuaskan, namun sebagian yang lainnya (di daerah-daerah terpencil) masih memprihatinkan. Faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain kurang meratanya pengelolaan kuantitas dan kulitas pendidikan di Indonesia yang meliputi guru kurang berkompeten dalam pemberian materi pembelajaran, kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran, kepala sekolah yang kurang profesional dalam tugas, kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam pengembangan sekolah.

 

Maka dari itu, dengan adanya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang dicanangkan oleh pemerintah dapat memberikan otoritas kepada sekolah dan pihak terkait sebagai stake holder (semua yang terlibat dalam pengelolaan sekolah) untuk mengembangkan, mengelola, mengontrol, memutuskan kebijakan demi kemajuan sekolah dengan sinergi team work dalam pelaksanaan MBS.

 

B. Permasalahan

 

Secara teoritis, MBS merupakan sistem pengelolaan persekolahan yang memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada institusi sekolah untuk mengatur kehidupan sekolah  sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan sekolah yangbersangkutan. Dalam MBS, sekolah merupakan institusi yang memiliki “full authority and responsibility” untuk secara mandiri menetapkan program-program pendidikan (kurikulum) dan berbagai kebijakan lokal sekolah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh sekolah (Mohrman and Wohlsettter, 1994; Calwell and Spinks, 1988). Berdasarkan visi, misi, dan tujuan pendidikan tersebut, sekolah menetapkan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkanberbagai potensi yang tersedia dan dapat digali di sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Dalam pembahasan ini akan dipaparkan bagaimana penerapan MBS di Indonesia dengan melihat pelaksanaan MBS di negara lain.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Penerapan MBS di suatu negara pasti tidak terlepas dari perkembangan pendidikan dan upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan di negara tersebut. Sejak tahun 60-an dan 70-an banyak sekali inovasi yang telah dilakukan. Misalnya, pengenalan kurikulum baru untuk memperbaiki mutu pendidikan dan pendekatan-pendekatan baru (metode baru) dalam proses pembelajaran, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Baru ketika tahun 80-an, saat terjadi perkembangan manajemen dalam dunia industri dan organisasi komersial mencapai sukses, orang mulai percaya bahwa untuk memperbaiki mutu pendidikan, perlu ada lompatan dari tataran pengajaran di dalam kelas ke tataran organisasi. Perubahan itu dilakukan di dalam struktur dan gaya manajemen sekolah (Cheng, 1996).

 

A.      MBS di beberapa negara

 

Selanjutnya, bagaimana sejarah MBS di berbagai negara, marilah kita simak sajian berikut ini. Sajian ini bersumber dari paparan Abu-Duhou, I (1999:37-55), dan sumber lain.

 

 

Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). Gerakan ke arah MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan sekolah. maupun layanan pendidikan. Langkah awal dimulai pertengahan tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun 1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.

Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986, sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service) kemudian ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru.

Dalam rangka menjamin akuntabilitas, proses monitoring dikembangkan. Para siswa pada tahun ke-3, 6, 9, dan 12, secara reguler diuji untuk semua bidang bidang pada kurikulum. Benchmark atau standar tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai, kemudian ditentukan, dan digunakan sesudah tahun 1987 sebagai dasar perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahun, survai pendapat dilakukan kepada siswa, guru, kepala sekolah, staf daerah, dan orang tua siswa yang memungkinkan dilakukannya pengklasifikasian tingkat kepuasan mereka dalam kaitan dengan peran-peran mereka.

Pada tahun 1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan meng-undang-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara drastis dari 140 menjadi 60, serta penyerahan sebagian besar

kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.

Model MBS di Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Cheng (1996: 44) menyatakan bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan (inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.

Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekan-kan pada manajemen-bersama (joint management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.

Kerangka acuan akuntabilitas tersebut mencatat dua hal penting, yaitu tingkatan individual dan tingkatan sekolah secara menyeluruh. Pertama, sistem pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan manajemen sekolah, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan, sebagai langkah awal. Kedua, akuntabilitas sekolah sebagai suatu keseluruhan. Setiap sekolah perlu membuat rencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai pada tahun yang akan datang, serta mempertanggungjawabkannya. Perencanaan sekolah yang dibuat, memungkinkan sekolah untuk menentukan prioritas, membuat alokasi anggaran, dan mengkomunikasikan arah dan tujuan kepada masyarakat. Sekolah juga diminta untuk membuat profil sekolah tahunan yang memuat kegiatan pada tahun sebelumnya – yang digunakan untuk memetakan pencapaian pada sejumlah indikator seperti prestasi belajar siswa pada mata pelajaran utama, kegiatan non-akademis, profil tenaga kependidikan dengan memberikan gambaran tentang pergantian staf, kualifikasi, dan kompetensinya.

 

Bagaimana dengan model MBS di Indonesia? Pada dasarnya, esensi MBS bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di Indonesia. Meskipun belum menggunakan istilah MBS, sekolah atau madrasah yang sistem pengelolaannya dilakukan oleh swasta, baik yayasan, pesantren, badan hukum dan sebagainya, telah menerapkan prinsip-prinsip MBS tersebut. Formalisasi MBS dimaksudkan untuk lebih menekankan pada persoalan yang lebih mendasar dan mendalam tentang bagaimana implementasi MBS yang lebih tepat di sekolah.

Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkannmanajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.

Pada tahun 1999 dengan bekerjasama serta bantuan dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan Nusa Tenggara Timur (Kota Kupang)..

Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut di tujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi dengan 1479 SD/MI.

Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID – lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan program MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di tiga kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia – Australia Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized Basic Education (DBE).

Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia terus dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen ang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya kualitas proses pembelajaran.

Sedangkan pelaksanaan MBS di Amerika serikat dikenal dengan Site-based management, Site-based management dilatarbelakangi oleh munculnya pertanyaan diseputar relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Maksudnya kinerja sekolah-sekolah di AS tidak sesuai dengan tuntutan yang diperlukan siswa untuk terjun di dunia kerja. Indikasinya adalah prestasi siswa untuk mata pelajaran matematika dan IPA tidak memuaskan. Oleh karena itu, MBS di Amerika Serikat sedikit diperbaharui, kemudian Reynolds (1997) menyarankan perlunya restrukturisasi sekolah yang mencakup 4 area utama, yaitu:

 

a. Bagaimana cara memandang siswa dan pembelajaran?

     b. Bagaimana cara mendefinisikan program pengajaran dan pelayanan yang diberikan?

c. Bagaimana cara mengorganisasi dan menyampaikan program dan pelayanan?

d. Bagaimana cara mengelola sekolah?

 

Jadi semua keputusan untuk memajukan sekolah dipegang oleh kepala sekolah, dan yang berwenang adalah kepala sekolah.

 

B.       MBS di Indonesia

 

Ada 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia yaitu: motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.

Dari 8 motiv tersebut, motiv terakhirlah yang  yang paling penting. Efektifitas sekolah, sebab  :

-      Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.

-      Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya.

-      Keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan transparasi dan demokrasi yang sehat


Adapun tujuan implementasi MBS adalah :

-     Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas, patisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas dan inisiatif sekolah.

-     Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggraan pendidikan melalui pengambilan keputusan secara bersama.

-     Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah.

-     Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan (Direktorat SLTP, Ditjen Dikdasmen Depdiknas, 2002).)hadiyanto, 2004 : 71).

Kendala pelaksanaan MBS di Indonesia,  fakta menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini ditandai dengan adanya beberapa indikator, seperti pelajar dan mahasiswa Indonesia tidak dapat bersaing di taraf internasional, tidak sanggup berkompetisi dalam merebut pasaran kerja nasional ataupun internasional dan yang paling parah lagi lulusan pendidikan kita tidak dapat membentuk manusia yang bertanggungjawab.

Dengan munculnya desakan dan kritikan dari masyarakat luas memaksa pemegang otoritas pendidikan (penguasa dan birokrat) untuk mereformasi dirinya sendiri. Sebagaimana dunia pendidikan dewasa ini memakai caranya dengan pilihan model MBS.

Seiring dengan upaya reformasi di bidang pendidikan tersebut, secara nasional juga sedang diupayakan reformasi system administrasi yang dikenal dengan system pemerintahan daerah melelui UU No. 22 tahun 1999. namun sebenarnya landasan hokum MBS bukanlah UU tersebut, karena desentralisasi berdasar UU itu hanya sampai pada tingkat pemerintah kabupaten atau kota. Sementara itu desentralisasi pendidikan model MBS langsung ke tingkat sekolah.

Munculnya UU No. 22 tahun 1999 tersebut membawa dampak yang positif ataupun negative. Pertama, dampak positif akan terjadi apabila walikota atau bupati kemudian mengerti desentralisasi model MBS ini sehingga bersedia melimpahkan kekuasaan dan kewenangannya kepada sekolah secara langsung. Dengan demikian birokrasi penyelenggara pendidikan akan semakin pendek, yaitu sekolah dengan kabupaten atau kota saja, bukan dengan pemerintah pusat.

Kedua, dampak negatifnya akan terjadi apabila bupati atau walikota menggunakan aji mumpung atas kekuasaannya dalam bidang pendidikan sehingga ingin menguasai sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan di daerah tersebut. Apabila hal itu terjadi maka penyelenggaraan dan pengaturan pendidikan akan dikendalikan pada tingkat kabupaten atau kota. Bila demikian maka MBS tidakakan dapat berjalan secara efektif karena sekolah-sekolah tidak akan memiliki kekuasaan dan wewenang dalam mengatur dirinya sendiri.

Apabila para penguasa dan birokrat enggan untuk melakukan reformasi sistematik ini maka MBS tidak dapat berhasil dengan baik. Menurut Bacharach (1990) reformasi terdiri dari empat bagian. Pertama, akar reformasi adalah cara hidup masyarakatnya. Bila kita cermati maka cara hidup masyarakat tradisional kita yang sejak zaman nenek moyang memiliki cara hidup bergotong royong, implementasi MBS ini akan mendapatkan dukungan besar. Hanya saja gaya hidup masyarakat kota yang mulai memiliki cara hidup individual harus mulai dibangun kembali rasa kebersamaan dan gotong royong.

Artinya implementasi MBS bukan hanya dapat meningkatkan kualitas pendidikan, melainkan justru dapat menjadi alat pemersatu bangsa, mempererat persaudaraan dan kesatuan bangsa. Hubungan guru, orang tua siswa dan masyarakat luas akan menjadi semakin erat, bersahabat dan hangat. Selanjutnya MBS memiliki potensi yang besar untuk mengurangi konflik social yang belakangan ini kian memanas di masyarakat kita.

Kedua, batang reformasi adalah mandat dari pemerintah, yaitu adanya otonomi di tiap sekolah dengan mengacu pada struktur, tujuan dan akuntabilitas. Mandatnya sudah jelas, yaitu melalui UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004 bahwa sekolah harus memiliki otonomi pengelolaan pendidikan. Tujuan reformasi model MBS yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Penetapan struktur dan akuntabilitas pendidikan itulah yang menjadi tugas dewan sekolah di tingkat paling bawah dengan dewan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota. Sebaiknya penetapan struktur dan akuntabilitas tidak dilakukan satu pihak oleh pemerintah, tetapi bersama-sama dengan sekolah dan masyarakat. Metode pelibatan partisipan ini telah diakui di berbagai praktik pengabilan keputusan akan menjadi efektif karena adanya rasa tanggung jawab dan rasa memiliki diantara mereka yang terlibat.

Ketiga, cabang reformasi adalah pemberdayaan dan peningkatan profesionalisme guru dan staf sekolah. Itulah yang dimaksud Mohrman dkk. bahwa desentralisasi model MBS ini harus mendesentralisasikan pengetahuan dan ketrampilan kepada setiap personel yang berada di sekolah.

Keempat, daun reformasi adalah partisipasi orang tua siswa dan partisipasi masyarakat luas. Apapun model MBS yang dipakai, partisipasi masyarakat dan orang tua siswa adalah suatu keharusan. Bagian ini masih amat lemah sehingga orang tua dan masyarakat harus terus didorong agar makin peduli terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.


pemecahan masalah atau faktor Pendukung Kesuksesan Implementasi MBS

Pertama, faktor terpenting dari kesuksesan implementasi MBS adalah political will pemerintah. Bila dicermati dukungan pemerintah dari sisi ini ada bahkan dituangkan secara resmi dalam perundang-undangan.

Kedua, dukungan finansial dari pemerintah dan masyarakat yang peduli pendidikan belum tampak. Justru yang tampak adalah dukungan dana dari berbagai lembaga donor internasional dan negara tetangga, diantaranya berasal dari Unesco, ADB, IDB.

Ketiga, ketersediaan sumber daya manusia yang mendukung implementasi MBS ini juga belum banyak. Hal ini dialami oleh sebuah organisasi internasional yang akan memfasilitasi penerapan MBS di Indonesia, pada saat mencari tenaga ahli dan tenaga pelaksana hingga batas akhir pemasukan lamaran hanya sedikit sekali yang memenuhi syarat. Kondisi ini dapat dimengerti karena bidang dan kajian ini masih amat sangat baru di Indonesia. Bahkan di kalangan akademisi pun belum banyak pakar di bidang ini.

Keempat, budaya sekolah rata-rata belum bisa mendukung kesuksesan implementasi MBS. Budaya sekolah belum dibangun secara baik berdasar keyakinan seluruh warga sekolah, melainkan dibentuk oleh keinginan para pimpinan bahkan keinginan birokrasi. Oleh karena itu, banyak warga sekolah yang tak peduli terhadap kemajuan sekolah.

Kelima, terkait dengan upaya pembentukan budaya sekolah yang kuat dan baik maka sekolah harus memiliki kepemimpinan yang efektif. Hal ini akan tercapai apabila kepala sekolah memiliki kemampuan profesinal di bidangnya, memiliki bakat atau sifat, memahami kondisi lingkungan dan pengikutnya dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang paling sesuai. Sebaiknya kepala sekolah menerapkan pendekatan partisipatif model transformasional.

Keenam, bila demikian maka sekolah sebagai organisasi harus diubah dan dikembangkan. Perubahan sekolah akan berjalan dengan baik apabila berdampak pada perbaikan kehidupan para guru dan staf lainnya. Perubahan dan pengembangan harus diawali dari perubahan individu dan linngkungan kerja secara bertahap dan sistematis.


Karakteristik MBS

MBS adalah bentuk reformasi pendidikan dimana pada prinsipnya sekolah memperoleh kewajiban,wewenang,dan tanggung jawab dalam meningkatkan kinerja sekolah.Oleh sebab itu MBS menyediakan layanan pendidikan yang menyeluruh dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat sekolah.

Prinsip pemerataan dan keadilan untuk memperoleh kesempatan pendidikan,efisiensi,dan mutu pembelajaran merupakan karakteristik utama MBS yang dimiliki oleh pendekatan ini. Dalam kaitan ini persyaratan utama yang diperlukan adalah :

1.              Adanya kebutuhan untuk berubah

2.              Adanya restrukturisasi organisasi

3.              Proses perubahan sebagai proses belajar

4.              Adanya budaya professional di sekolah.




Dalam pelaksanaan MBS ada beberapa hal yang mensyaratkan harus adanya prinsip sebagai berikut :

a. Partisipasi

Partisipasi berarti memberikan kesempatan warga sekolah dan masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Ilustrasi penerapannya antara lain setiap 2 bulan sekali di sekolah diadakan rapat yang dihadiri oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, orang tua murid atau wali murid jika merupakan suatu yayasan dapat juga ketua yayasan untuk memantau perkembangan sekolah serta evaluasi pendidikan serta memberikan solusi-solusi dalam setiap masalah yang dimiliki oleh sekolah.

b. Transparansi

Yang dimaksud dengan transparansi adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriah kebersamaan untuk meningkatkan mutu sekolah.

Ilustrasi penerapannya antara lain orang tua murid mendapatkan hak untuk mengakses nilai anak mereka melalui sebuah web sekolah atau mendapatkan laporan nilai siswa dari guru kelasnya. Selain itu, orang tua murid mendapatkan transparansi keuangan setiap pembayaran SPP.

c. Akuntabilitas

Akuntabilitas berarti pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah, melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Akuntabilitas tidak terlepas dari delapan standar nasional pendidikan, yaitu :

- Standar isi

- Standar proses

- Standar kompetensi lulusan

- Standar pendidikan dan tenaga kependidikan

- Standar sarana dan prasarana

- Standar pengeloolaan

- Standar pembiayaan

- Standar penilaian pendidikan

Ilustrasi penerapannya antara lain setelah pembelajaran berlangsung selama 1 tahun atau 2 semester, kepala sekolah mengadakan rapat terbuka bersama warga sekolah, masyarakat, dan pemerintah mengenai hasil lulusan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan standar penilaian sekolah.

Contoh penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.

a. Prinsip Partisipasi

Dalam pembelajaran dikelas siswa harus aktif. Aktif bertanya, mencari materi sendiri dan berpartisipasif dalam proses belajar. Jadi, guru tidak selalu menggunakan metode ceramah. Siswa aktif dan guru pasif.

b. Prinsip Transparansi

Dalam pembelajaran dikelas guru adil dan transparan dalam memberikan nilai. Tidak memandang dari segi apapun kecuali dari potensi kemampuan siswa yang dimiliki. Selain itu guru harus membuat silabus yang benar sebagai bukti yang nyata untuk proses pembelajaran.

c. Prinsip Akuntabilitas

Akuntabilitas dalam belajar dapat diwujudkan dikelas dengan cara guru menyelesaikan tanggungjawabnya sebagai guru. Harus mengajar sesuai jadwal dan kalender akademik. Menyelesaikan bahan ajar sesuai kurikulum. Sedang siswa bertanggungjawab atas semua dari hasil yang diperoleh, yaitu dalam bentuk prestasi dan nilai-nilai yang bagus.

 

Berdasarkan latar belakangnya, MBS di Indonesia muncul karena fakta menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini ditandai dengan adanya beberapa indicator, seperti pelajar dan mahasiswa Indonesia tidak dapat bersaing di taraf internasional, tidak sanggup berkompetisi dalam merebut pasaran kerja nasional ataupun internasional dan yang paling parah lagi lulusan pendidikan kita tidak dapat membentuk manusia yang bertanggungjawab. Dengan munculnya desakan dan kritikan dari masyarakat luas memaksa pemegang otoritas pendidikan untuk mereformasi dirinya sendiri. Sebagaimana dunia pendidikan dewasa ini memakai caranya dengan pilihan model MBS.

Teori yang Mendasari MBS

Pertama, prinsip ekuifinalitas menjadi landasan yang harus dimiliki oleh para pelaksana MBS di sekolah ataupun otoritas pendidikan diatasnya. Artinya setiap personel yang terkait dengan pengambilan keputusan sekolah harus memiliki perspektif yang luas dan setiap permasalahan dapat didekati dari berbagai cara yang berlainan. Tidak ada cara tunggal terbaik untuk memecahkan setiap masalah yang muncul di sekolah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.

Back

Search site

© 2010 All rights reserved.