Filsafat

31/10/2010 18:53

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

 

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan; “Orang bodoh hidup untuk makan, namun orang bijak makan untuk hidup.” Lantas apakah tujuan hidup orang bijak, apakah hanya untuk bertahan hidup. Padahal kehidupan bukanlah akhir dan tidak dapat mengakhiri dirinya sendiri, lantas apa tujuan hidup ini. Para ahli fikir merumuskan masalah ini dengan 3 pertanyaan dasar; Darimana, kemana, dan mengapa. Artinya, saya darimana, akan kemana, lantas mengapa saya ada disini.

 

Banyak orang tidak pernah berhenti mempertimbangkan apakah arti hidup itu, mereka memandang ke belakang dan tidak mengerti mengapa relasi mereka berantakan dan mengapa mereka merasa begitu kosong walaupun mereka telah berhasil mencapai apa yang mereka cita-citakan.

 

Jika sekarang diibaratkan kita sedang berjalan di tengah hutan belantara yang gelap gulita, maka tujuan hidup kita bagai lentera yang sinarnya berkilau dari kejauhan. Dengan susah payah kita akan menuju lentera itu karena hanya itu yang kita lihat. Kita tidak peduli dengan apa yang menghadang di depan kita. Ada kalanya kaki kita tertusuk duri atau tersandung batu, namun kita terus melangkah. Ada kalanya kita terperosok ke dalam jurang, namun kita akan naik lagi dan terus melangkah. Ada kalanya tiba-tiba tembok yang tinggi menjulang berdiri kokoh di hadapan, namun kita akan tetap memanjat dan melewatinya. Setelah melihat sinar lentera itu, kita terus menuju ke arahnya.

 

Dengan perjuangan yang panjang, akhirnya kita dapat mencapai lentera itu. Setelah lentera ada di tangan, kita pun melihat cahaya lentera lain yang kilau cahayanya lebih besar. Dengan diterangi lentera tadi, kita melanjutnya perjalanan menuju ke arahnya, begitu seterusnya sampai akhirnya menuju ke sumber dari segala sumber cahaya, mencapai pencerahan jiwa dan mengetahui hakikat hidup yang sesungguhnya untuk kemudian menggapainya.

           

Tanpa cahaya lentera, kita tak bisa melihat apa-apa, yang ada hanya kegelapan. Tanpa cahaya lentera, kita tak akan tahu harus melangkah ke mana. Tanpa cahaya lentera, kita akhirnya akan berjalan dalam kehampaan dan hanya menunggu waktu tubuh ini lapuk dimakan usia sebelum akhirnya mati menyatu dengan tanah.

 

Dalam kehidupan ini Tuhan pencipta alam adalah lentera itu, Tuhan yang menerangi jiwa setiap manusia. Tanpa tuntunan Tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa, dan untuk menemukan Tuhan dalam kehidupan kita maka manusia perlu memahami arti kehidupan mereka berada di dunia ini.

 

B.     Rumusan Masalah

Dalam kehidupan di dunia ini yang nampak kebanyakan hanyalah urusan kepuasan duniawi, semua yang disuguhkan oleh manusia selalu terkesan mengejar kepuasan dan kenikmatan nafsu dunia belaka. Hanya sebagian kecil dan bisa dikatan jarang terlihat manusia sekarang ini yang sungguh-sungguh ingin memaknai hidup ini.

Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan beberapa kajian tentang arti dan tujuan kehidupan di dunia ini. Semoga tulisa ini bisa menjadi renungan bagi pembaca untuk lebih memaknai kehidupan ini dan lebih bijak dalam menentukan setiap tindakan untuk melangkah kedepan.

 

C.     Tujuan

1.      Memahami dan mengkaji arti kehidupan.

2.      Manyadarkan kita pentingnya kita memahami arti kehidupan.

3.      Mendekatkan kita pada Pencipta

4.      Menumbuhkan rasa tanggungjawab kita pada alam sebagia kesatuan dari hidup kita

 

 

 

 

 

 

 

D.    Manfaat

Dalam makalah ini dipaparkan tentang hakikat arti kehidupan, setelah kita membaca dan memahami isi dari makalah ini serta berusaha untuk memaknainya dalam hidup ini semoga kita sebagai manusia itu sendiri akan lebih bijak dalam menjalani kehidupan ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

ISI

TUJUAN DAN ARTI HIDUP MANUSIA

 

A.                          Arti Kehidupan

“Kehidupan yang tak teruji bukan kehidupan yang berharga bagi seseorang”, demikian Plato mengutip kata-kata dari Socrates di dalam bukunya Dialogues dan Apology. Sebenarnya jika seseorang menyelidiki kehidupan secara mendalam, ia akan menemukan bahwa yang dicari oleh jiwa adalah mengetahui makna hidup ini. Para saintis mencarinya di dalam dunia ilmu pengetahuan, para artis di dalam seninya, para filosof mencarinya di dalam filsafat. Apapun minat masing-masing orang tentu berbeda-beda, namun kecenderungan yang sebenarnya adalah sama, yaitu menemukan arti hidup itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa jiwa datang ke dunia ini adalah untuk tujuan ini, untuk menyadari dan memahami makna kehidupan ini. Baik secara material maupun spiritual setiap jiwa sedang berjuang untuk tujuan ini dengan jalannya masing-masing.

 

Setiap saat dan setiap tindakan manusia sebenarnya hanyalah untuk memahami hidup ini. Contoh yang sederhana dan paling nyata dapat kita lihat pada tingkah laku bayi,  keinginan bayi ketika baru dilahirkan akan meraba-raba ibunya  untuk mencari air susu ibunya merupakan langkah pertama manusia mencari dan mendapat kehidupan. Usaha melihat sesuatu, menyobek-nyobeknya dan melihat ada apa di dalamnya, menunjukkan hasrat jiwa untuk melihat kehidupan, untuk memahami kehidupan.

 

Tapi seiring bertambahnya waktu dan pengalaman yang didapat selama berinteraksi dengan dunia memberikan efek dan pengaruh dalam kehidupan manusia sehingga manusia menjadi mabuk. Dan karena mabuk atau lupa diri inilah ia menjadi sedemikian hanyut dengan dirinya sendiri serta kepentingannya sendiri hingga ia tersesat dan lalai dengan watak pembawaannya sendiri. Sebenarnya hasrat manusia yang paling dalam bukan mencari makanan atau kenyamanan. Kecenderungannya yang paling dalam adalah mencari pemahaman atas kehidupan. Seorang anak akan terus-menerus bertanya kepada orang tuanya, ‘Apa ini, apa itu, apa maksudnya ini semua’, sampai dewasapun masih terus bertanya dan mencari makna hidup ini sesungguhnya.  Ini menunjukkan adanya keinginan yang terus-menerus untuk mengetahui makna kehidupan, sebuah keinginan yang terus berlaku sepanjang hidup.

 

Hal ini mengajarkan kita tentang suatu prinsip bahwa sumber dan tujuan Tuhan menciptakan alam semesta adalah satu dan sama, bahwa Pencipta menciptakan segalanya untuk mengenal ciptaan-Nya. Manusia diciptakan untuk memahami sesama manusia dan alam semesta beserta isinya. Tetapi bagaimana sang Pencipta melihat dan memahami ciptaan-Nya. Tidak saja di dalam aspek yang paling tinggi dan paling dalam, tetapi juga melalui segala sesuatu, Tuhan sedang terus-menerus memperhatikan dan memahami ciptaan-Nya.

Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS 55 : 29)

 

Maka bila ada yang bertanya, ‘Apakah seni itu, apakah seni itu buatan manusia’ Jawabannya adalah, ‘Ya, seni memang buatan manusia, tetapi juga buatan Tuhan melalui tangan manusia.’ Jika demikian bagaimana mekanisme yang telah dan sedang berlaku di alam semesta. Sejatinya, alam ini bekerja, akan tetapi bekerja untuk tujuan apa, Jawabnya adalah bekerja untuk memahami dirinya sendiri. Lalu bagaimana mekanisme dunia itu sendiri, hidupkah ia ataukah mati. Sebenarnya, apa pun yang kita sebut hidup maka ia hidup, dan apa pun yang kita pikir ia mati juga sebenarnya tidak mati, ia juga hidup. Kita biasa mengatakan ini benda mati dan itu benda hidup! Padahal sebenarnya tidak ada satu pun benda yang mati, semuanya adalah makhluk hidup, hatta sebutir debu.

 

Orang dalam mencapai tujuan yang diinginkan biasanya menggunakan cara masing-masing, ada yang mengambil jalan pintas dan ada yang mengambil jalan yang lebih panjang. Yang satu berkeliling dulu dan yang lain mengambil jalan lurus. Tujuannya sama. Yang berbeda ketika berada dalam perjalanannya, yang satu berjalan kaki, sementara yang lain naik kendaraan, atau yang satu tersadarkan di dalam perjalanannya, yang lainnya tertidur dan terlena dalam perjalanannya, sehingga ia tidak melihat pemandangan-pemandangan indah selama di perjalanan.

Imam Ali as berkata, “Ahlud dunia karakbin yusaru bihim wa hum niyaam”, artinya : Para ahli duniawi itu seperti pengendara yang berjalan dengan kendaraannya sementara mereka tertidur”

Manusia memiliki takdir dalam hidup ini yang dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang satu adalah mekanisme yang mengaktifkan takdir ini. Bagian yang lain adalah jiwa yang menyadarkan ini. Oleh karena itu mekanisme adalah mesin, sedangkan jiwa yang berada di dalamnya terdapat ahli mesin yang senantiasa sibuk agar mekanisme ini terus bekerja dan menghasilkan apa yang mesti dihasilkan. Ada banyak metode dan cara yang manusia gunakan untuk mengetahui dan memahami. Dan pikiran merupakan sarana dan alat untuk mencapai tujuan. Sesuai dengan kesiapan alatnya, jiwa mengalami dan mengenal hidup. Kondisi pikiranlah yang memampukan jiwa untuk melihat kehidupan dengan jelas. Pikiran juga bisa diumpamakan sebagai air. Bila air keruh, maka sulit bagi kita untuk bercermin di atas permukaannya. Tetapi bila air itu jernih, maka kita dapat bercermin di atasnya. Sayangnya, manusia senantiasa hanya mengejar nilai-nilai yang bersifat materi, sehingga ia hanyut di dalam kehidupan ini dan kehilangan berbagai manfaat yang sesungguhnya dari hidup ini. Pada zaman sekarang ini manusia mendefinisikan peradaban sebagai kemajuan komersial atau industrial, ia menjadi ideal setiap jiwa. Dan menjadi sulit bagi jiwa untuk mencapai ketenangan untuk menyelesaikan tujuan yang terlahir dari jiwa itu sendiri. Hal ini bukan berarti perkembangan komersial dan industrial itu tidak perlu bagi kehidupan manusia. Tidak sama sekali, sepanjang ia tidak meruntuhkan atau merintangi tujuan hidup manusia itu sendiri. Namun jika yang dilakukan sebaliknya, meski secara lahiriah ia meraih kemajuan, sebenarnya ia telah menyia-nyiakan hidupnya dan itu berarti hidupnya telah hancur.

 

Jika di Timur ada takhyul, maka di Barat pun ada. Ada takhayul yang menyebutkan bahwa hewan seperti kuda, kucing, anjing, burung, bisa memberi peringatan kepada seseorang bahwa ia akan jatuh sakit atau meninggal dunia, dan hal-hal lainnya yang serupa, dan terjadi sebagaimana yang diduga atau diramalkan, namun mengapa manusia tetap tidak bisa memahami dan merasakan hidup ini sebagaimana yang dirasakan oleh binatang.Mungkin jawaban sementara yang bisa disampaikan adalah bahwa binatang hidup lebih alamiah ketimbang manusia masa kini. Mereka lebih dekat dengan alam ketimbang manusia yang hanyut dalam kehidupan artifisial. Thomas Browne mengatakan, “Segala sesuatu adalah tiruan, sedangkan alam adalah karya seni Tuhan.

 

Jika binatang dapat mengetahui tanda-tanda alam maka selayaknya manusia dapat lebih mengetahuinya. Pengetahuan seperti inilah yang merupakan kepuasan atas hidupnya, bukan semua yang bersifat fisik dan lahiriah. Lalu dimanakah kekayaan manusia, kekayaannya ada dalam pengetahuannya. Jika kekayaan hanya berada di bank dan tidak di dalam ilmu pengetahuannya, maka berarti ia tidak memilikinya, ia ada di bank.

 

Semua yang diminati, apakah itu nilai, titel, kedudukan dan semua bentuk kepemilikan, dimana semua itu, Di luarkah, Tentu saja tidak. Ini karena semua yang berada di luar hanya dapat diketahui melalui pengetahuan yang berada di dalam. Oleh karenanya semua kepemilikan yang sesungguhnya tidak lain yang berada di dalam. Dan yang berada di dalam itu adalah Hati, karenanya hati mesti dikembangkan, dan harus disesuaikan dengan ritme alam dan titian nadanya yang tepat. Jika ia sesuai dengan ritme alam dan pola-pola nadanya, maka ia akan dapat mencapai tujuannya.

 

B.                          Sebuah cerita tentang tujuan hidup dan cara menemukannya.

 

Pada suatu kesempatan seorang musyafir bertanya pada beberapa orang tentang tujuan hidup mereka. Apakah mencari ketenangan, kekayaan, kedamaian, kekuasaan, ketenaran atau apa. Jawaban mereka bervariasi, ada yang menjawab ketenangan, kekayaan, dsb., disertai dengan alasan-alasan tersendiri. Lalu ia bertanya lagi, apakah semua itu sudah dapat diraih / dicapai? Hampir semuanya menjawab Belum.

Kenapa? Karena terkadang atau seolah-olah tujuan hidup itu sudah diraih namun kemudian menghilang lagi. Berarti itu bukanlah tujuan hidup yang engkau cari sesungguhnya. Sebab jika itu tujuan hidupmu, dan anda merasa sudah mendapatkannya maka anda tidak akan pernah kehilangan lagi.

Dilanjutkan lagi dengan pertanyaan : untuk meraih tujuan hidupmu, apakah engkau tahu jalannya. Jika di ibaratkan ingin menuju kesuatu tempat maka kita terlebih dahulu harus tahu jalan mana yang akan ditempuh. Mereka menjawab dengan gelengan kepala. Lalu mereka balik bertanya kepada musyafir itu, apa tujuan hidupmu sendiri? dia menjawab dengan senyuman.  
Lalu berkata bahwa Tujuan Hidupnya adalah mencari Tuhan. Sebab, jika Kita sudah menemukan Tuhan kita, maka dunia akan berada dalam genggaman tangan. Ketenangan, kebahagiaan, kekayaan, dsb akan dengan mudah diraih. Yakinlah.


Kemudian musyafir itu melanjutkan beberapa pertanyaan lagi, yang berhubungan dengan tuhan :

1.      Siapa Tuhan kalian?

Ada yang menjawab Allah SWT, Yesus, Sidartha Gautama, Sang Hyang Widi, dsb. Ditegaskan lagi pertanyaannya, Siapa Tuhanmu? Bukan Siapa Nama Tuhanmu? Yang kalian jawab adalah nama Tuhan kalian.

Mereka terdiam. Musyafir itu berkata satu hal kepada mereka, bahwa untuk mengetahui siapa Tuhanmu, maka Engkau harus mengetahui terlebih dahulu siapa dirimu sebenarnya. Seperti dalam sebuah hadist, “Kenalilah dirimu, maka kau akan mengenal siapa Tuhanmu”. 

2. Siapa Dirimu sebenarnya? 

Mereka semuanya terdiam. Tidak ada satu pun yang tahu siapa diri mereka sebenarnya. 

3.      Siapa yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan sehingga kalian bisa berpikir, menganalisa dan mengambil sebuah keputusan?

“Guru”, jawab mereka. Bukan, Dia-lah Tuhan, tuhan yang mengajarkan kepadamu tentang suatu ilmu dan memberikanmu pengetahuan sehingga manusia memiliki kemampuan tertentu.

Lalu…, apa hakikat dibalik semua itu. Sadarilah bahwa sesungguhnya manusia itu bodoh. Apakah kalian percaya?? Kalian harus percaya . Tidak sedikit manusia yang mengetahui tentang suatu kebenaran namun tetap melanggarnya dan sebaliknya. Itu menunjukan kebodohan dari manusia.

4. Apa yang kamu bawa ketika lahir dan ketika mati?

Tidak ada. Ketika lahir anak manusia hanya membawa tangisan. Dan ketika mati dia hanya membawa amal dan kain putih saja. Artinya, hakikat manusia yang kedua adalah Miskin / Fakir.

Jadi, pantaskan manusia sombong dengan kekayaan yang dimilikinya. Jawabnya tentu tidak. Semua itu hanyalah titipan. Jangan pernah menyayangi sesuatu terlalu berlebihan. Sebab jik

Back

Search site

© 2010 All rights reserved.